Langsung ke konten utama

uts studi al-quran siti nurjana


TUGAS UTS STUDI AL-QURAN
Dosen pembimbing : Abdul Ghani, S.Pd.I, M.Ed



Disusun Oleh :
Siti Nurjana
11960120892


KELAS : 2E
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020



KATA PENGANTAR


Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas kehadirat-Nya yang telah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada saya sehingga makalah ini dapat saya selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Saya menyadari sekali bahwa makalah ini jauh dari ketidaksempurnaan baik dari segi bentuk  penyusunannya ataupun secara keseluruhannya. Apabila terdapat salah penulisan dalam makalah ini saya mohon maaf yang sebesarnya karena saya juga masih dalam tahap belajar.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhirnya, dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih kepada kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah sederhana ini, dan juga kepada para  pembaca yang telah membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang  baik untuk kita semua. Aamiin.







Pekanbaru, 24 April 2020



Siti Nurjana




DAFTAR ISI












BAB I

 PENDAHULUAN



Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai salah satu rahmat yang tak ada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul wahyu ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman, dan pelajaran bagi siapa yang mempercayai serta mengamalkannya. Bukan itu saja, tetapi Al-Qur’an juga kitab suci terakhir yang diturunkan Allah SWT, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syariat yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Karena itu setiap orang yang mempercayai Al- Qur’an, akan bertambah cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai “merata rahmat-Nya dirasakan dan dikecap oleh penghuni alam semesta dalam memelihara kesucian serta kemurnian Al-Qur’an, Allah SWT memberikan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya yang berminat dan sungguh-sungguh untuk menghafal kitab suci Al-Qur’an.
Demikian Allah menjamin dan menjaga kemurnian Al-Qur’an untuk umat Islam di dunia agar bisa dijadikan pedoman yang abadi, oleh sebab itu umat Islam juga dituntut untuk ikut serta bertanggung jawab dan memelihara kemurnian Al-Qur’an dengan cara menghafalkan ayat-ayat-Nya, mempelajari isi kandungan-Nya serta mengamalkan ajaran-Nya. “Dengan jaminan ayat diatas, maka setiap muslim percaya bahwa apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW didengar dandibaca oleh para sahabat Nabi SAW”.

1.      Apakah problematika dalam pembukuan Al-Qur’an?
2.      Apa itu mutawatir?
3.      Apa konflik dalam penulisan rasm Usmani?
4.      Apa sebab Al-Qur’an tidak disusun sesuai urutan ayat?
5.      Bagaimana Allah  menjaga Al-Qur’an dan kitab lainnya?
6.      Apa hikmah penafsiran ayat muqhotto’ah
7.      Bagaimana hukum mencium Al-Qur’an?
8.      Apa itu qiraat dan pembagiannya?
9.      Mengapa surat Attaubah tidak diawali  dengan basmalah?

1.      Untuk mengetahui bagaimana pembukuan Al-Qur’an
2.      Untuk mengetahui pengertian mutawatir
3.      Untuk mengetahui konflik didalam penulisan rasm Usmani
4.      Untuk mengetahui sebab Al-Qur’an tidak diurutkan sesuai surat
5.      Untuk mengetahui penjagaan Al-Qur’an
6.      Untuk mengetahui hikmah penafsiran ayat muqhotto’ah
7.      Untuk mengetahui hukum mencium Al-Qur’an
8.      Untuk mengetahui pengertian qiraat dan pembagiannnya
9.      Untuk mengetahui sebab surat attaubah tidak diawali basmalah













PEMBAHASAN

2.1 Pembukuan Al-Qur’an

·         Khalifah pertama yang membukukan/mengumpulkan Al Quran adalah khalifah Abu bakar As Shiddiq rodhiallohu ‘anhu, dan bukan khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu. Yang dilakukan oleh sahabat Utsman bin Affan adalah menyatukan bacaan Al Quran dengan menggunakan logat bahasa orang-orang Quraisy, tak lebih dan tak kurang dari itu. Adapun pembukuan Al Quran pertama dilakukan pada zaman Abu Bakar, akan tetapi kala itu tidak disatukan dengan satu logat. Karena perlu diketahui bahwa Al Quran diturunkan oleh Alloh dalam tujuh logat bahasa Arab, dan dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan/membolehkan seluruh bacaan Al Quran tersebut, dengan berbagai perbedaan logat bahasa. Akan tetapi karena perbedaan logat bahasa ini menimbulkan perselisihan di tengah-tengah umat Islam, yaitu pada masa Utsman bin Affan, maka beliau memerintahkan agar seluruh umat islam membaca Al Quran dengan satu logat, yaitu logat orang-orang Quraisy dan pembukuannya pun disesuaikan dengan logat tersebut. Inilah ringkas cerita yang terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan. Bukan seperti yang dikatakan oleh orang tersebut.

Tidak pernah ada di zaman khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu terjadi pergolakan politik antara Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu dengan sahabat Ali bin Abi Thalib rodhiallohu ‘anhu. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib rodhiallohu ‘anhu adalah salah seorang kepercayaan Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu. Sehingga ini adalah salah satu bukti besar bahwa orang tersebut over acting, mentang-mentang belajar ilmu politik, kemudian dengan sembarangan berkomentar tentang Islam dan sejarah Islam. Dan menganalisa berbagai kejadian sejarah islam berdasarkan kaidah-kaidah ilmu politik yang ia pelajari, walaupun kaidah-kaidah tersebut menyelisihi prinsip-prinsip agama islam.

Umat Islam apalagi para sahabat tidaklah jahat semacam para politikus yang ia kenal. Umat Islam, apalagi para sahabat memiliki hati nurani yang bersih dan jujur lagi obyektif dalam menyikapi setiap masalah. Dan sikap mereka senantiasa mencerminkan bahwa mereka berjiwa luhur dan penuh iman kepada Alloh dan hari pembalasan. Mereka tidak mengenal penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan, apalagi sampai memanipulasi atau menolak kebenaran karena hanya faktor kepentingan pribadi atau golongan. Kejiwaan para sahabat jauh dan terlalu luhur bila dibanding dengan beraneka ragam manusia yang hidup di zaman ini, apalagi para politikus yang kebanyakannya berhati kejam, tidak kenal kemanusiaan dalam mencapai tujuannya.
Dengan pendek kata, ucapan orang itu merupakan tuduhan dan celaan terhadap sebagian sahabat, yaitu sahabat Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu, tuduhan ia telah mementingkan kepentingan pribadi daripada Al Quran dan umat Islam seluruhnya. Ini adalah tuduhan hina nan keji, tidak layak keluar dari seorang yang beriman kepada Alloh dan hari Akhir. Alloh berfirman:
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
“Muhammad itu adalah utusan Alloh, dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka: Kamu melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Alloh dan keridhoan Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus diatas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Alloh dengan mereka hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al Fath: 29)
Oleh karena itu Imam Malik bin Anas berdalilkan dengan ayat ini bahwa orang-orang rafidhah (syi’ah) adalah kafir, karena mereka telah membenci para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Alloh telah menyatakan orang-orang kafirlah yang membenci para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

2.2 Al-Mutawatir

·         Menurut bahasa, kata Mutawatir, berarti mutatabi' yaitu yang (datang) berturut-turut, dengan tidak ada jaraknya. Ada lagi yang mendefenisikan hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan banyak orang, dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.

2.3 Penulisan Rasm Usmani

·         Perbedaan bacaan al-Qur’an sehingga menimbulkan konflik antar orang mukmin. Berawal dari Hudhaifah ibn al-Yaman mendengar orang membaca al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya berbeda. Pada muallaf2 yang belum bisa membaca alquran dengan benar

2.4 Sebab disusun nya Al-Quran tidak  sesuai urutan surat

·         Pertama, Al-Qur’an diturunkan ke dunia melalui dua tahap: Tahap pertama, diturunkan sekaligus dari “lauhil mahfudz” ke “baitul izzah” di langit dunia sebagaimana susunan yang telah ditetapkan oleh Allah. Tahap kedua, diturunkan dari langit dunia kepada Rasulullah SAW, secara berangsur-angsur sesuai dengan sebab kejadiannya. Tetapi susunan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang ada sekarang, itu memang bukan menurut sejarah turunnya, melainkan atas dasar perintah Allah sama dengan susunann Al-Qur’an yang di “lauhil mahfudz”.
Imam Ahmad, meriwayatkan bahwa setiap kali turun ayat, Rasulullah s.a.w. memerintahkan para penulis wahyu, seraya bersabda “letakkan ayat ini setelah ayat ini di surat ini” (Musnad Imam Ahmad: Jilid:1, hal:57). Banyak riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah mengimami shalat, dengan membaca Al-Qur’an sebagaimana susunan ayat yang ada. Atas dasar ini ijma’ ulama menegaskan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an murni dari Allah tanpa campur tangan siapapun.
Begitu juga susunan surah-surah dalam Al-Qur’an, sekalipun ada perbedaan pendapat, tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa susunan surah-surah itu berdasarkan wahyu dari Allah SWT, bukan ijtihad para sahabat. Pendapat ini didukung dengan banyak riwayat yang sahih, seperti keterangan bahwa Rasulullah sering membaca dalam shalatnya, beberapa surah secara berurutan seperti susunan yang ada.
Rasulullah SAW sebagaimana riwayat Imam Bukhari – setiap tahun dua kali menyetor hafalan Al-Qur’an dari awal sampai akhir, kepada Malaikat Jibril. Setoran ini tentu secara berurutan sesuai dengan susunan yang ada. Ini juga diperkuat dengan ijma’ para sahabat dan kesepakatan jumhurul ulama (mayoritas ulama) terhadap susunan Al Qur’an ada sekarang adalah merupakan bukti yang menguatkan bahwa susunan surah-surah berdasarkan wahyu (lihat fadhailul Qur’an, libni katsir, 86).
Kedua, mengenai pengelompokan ayat dalam setiap surat sesuai dengan riwayat Imam Ahmad di atas tentu juga berdasakan wahyu. Bagitu juga nama-nama surah, semuanya sesuai dengan petunjuk wahyu. Demikian pula waqaf per ayat, tidak bisa diketahui kecuali melalui wahyu.
Adapun penentuan juz-juz Al-Qur’an yang tiga puluh jumlahnya, itu bukan dari Sahabat Utsman, karena mushhaf utsmani (Al-Qur’an yang ditulis di zaman Utsman) tidak terdapat juz-juz tersebut. Melainkan dari para ulama, dengan maksud untuk mempermudah. Sekalipun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat antara boleh dan tidak, namun kemudian dianggap boleh-boleh saja, selama tidak merusak susunan Al-Qur’an yang asli.
Ketiga, penentuan suatu ayat dimansukh dengan ayat lainnya, itu tidak melalui ijtihad, melainkan melalui tiga hal berikut:
(1). Penegasan dari Nabi SAW atau sahabat r.a. Seperti hadits : ” aku dulu pernah melarangmu melakukan ziarah ke kuburan, maka sejak ini silahkan lakukan ziarah kubur tersebut “.
(2). Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang satunya mansukh.
(3). Mengetahui sejarah turunnya, maka yang diturunkan lebih dahulu itulah yang mansukh.

2.5 Penjagaan al-Qur’an

·         Dijaga disini bukan eksistensi nya, tapi makna kitab kitab sebelum nya sudah dijaga bersama alqur'an, karena alquran merupakan penyempurna kitab sebelumnya.

2.6 Hikmah penafsiran ayat Muqhotto’ah

·         Hikmah-hikmah itu adalah:
  1. Seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
  2. Kedua, Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyâbihat atau muqhottoah, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sisi Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan. Seperti dalam firman-Nya:
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بـَينِْ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تـَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حمَِيْدٍ
“Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fussilat [41]: 42)
  1. Ketiga, Dengan adanya ayat-ayat yang muhkamat dan ayat- ayat Mutasyâbihat atau muqhottoah dalam al-Qur’an, tentunya menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.

2.7 Hukum mencium Al-Qur’an

·         Pada dasarnya, seseorang mencium Al-Qur’an karena didorong oleh kecintaan dan sikap mengagungkan Al-Qur’an. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ikrimah bin Abu Jahl. Ia mencium Al-Qur’an karena didorong oleh sikap mengagungkan pada Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Darimi dari Abi Mulaikah, dia berkata;
أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ، كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ وَيَقُولُ: كِتَابُ رَبِّي، كِتَابُ رَبِّي
“Sesungguhnya Ikrimah bin Abi Jahl biasanya meletakkan mushaf di wajahnya lalu berkata, ‘Kitab Tuhanku, kitab Tuhanku.’”
Melalui riwayat ini, maka Imam al-Suyuthi mengatakan bahwa mencium Al-Qur’an adalah sunah. Dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Quran, beliau berkata sebagai berikut;
يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَفْعُلُهُ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الاَسْوَدِ ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ وَلِأَنَّهُ هَدْيُهُ مِنَ اللهِ تَعَالَى فَشِرعَ تَقْبِيلُهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ
“Disunahkan mencium mushaf karena Ikrimah bin Abu Jahl melakukaknnya, dan (dalil lain) adalah dengan dikiaskan dengan mencium Hajar Aswad sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama, dan karena mushaf Al-Qur’an merupakan anugerah dari Allah swt. Karenanya disyariatkan menciumnya seperti disunahkannya mencium anak kecil.”

2.8 Qiraat dan  pembagiannya

·         Secara etimologi, lafal qira’ah ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari (قرأ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’ah adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’ah, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Menurut Ibnu al-Jazari, Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya
Pembagian qira’at dari segi sanad dibagi menjadi enam, yaitu: Mutawatirah, Masyhurah, Ahadiyah, Syadzah, Mudrajah dan Maudhu’ah.
1.            Qira’at Mutawatirah
At-tawatur secara bahasa bermakna at-Tatabu’ yang berarti berurutan atau berlanjut. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Mu’minun: 44.
Artinya: “Kemudian Kami utus Rasul secara berturut-turut”, maksudnya yakni satu demi satu.
Sedangkan dalam istilah ulama-ulama ahli qira’at, qira’at mutawatirah adalah qira’at yang dinukil oleh banyak orang, dimana mereka mustahil untuk bersepakat dalam kebohongan dari awal sampai akhir. Kebanyakan qira’at qur’an dibaca dengan qira’at jenis ini. Qira’at mutawatir adalah qira’at yang disepakati.
2.       Qira’at Masyhurah
 الشهرةsecara bahasa bermakna Azh-Zhuhruh (yang nampak) dan Al-Whuduh (yang jelas) dan Al-Masyhurah maknanya adalah nampak jelas. Dasarnya adalah isim maf’ul musytaq dari syin, ha’ dan ro’.
Sebagaimana perkataan kita: Fulan adalah ornag yang terkenal di suatu tempat. Sedangkan dalam istilah ulama ahli qira’at, qira’at masyhurah adalah qira’at yang shahih sanadnya tetapi belum sampai pada derajat mutawatir, tidak menyalahi rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab. Terkenal juga dikalangan ulama ahli qira’at, dan tidak mengandung syadz.
Contohnya: Dengan mem-fathahkan huruf ta’ pada lafadz kunta.
Dua bacaan qira’at itu oleh Abi Ja’far al-Madani, dan keduanya bisa digunakan semua dalam pembacaan al-Qur’an.
3.      Qira’at Ahadiyah
Ahad secara bahasa adalah: bentuk jamak dari kata ahad yang artinya satu. Sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. al-Ikhlas: 1.
Kata ahad disana bermakna satu (esa). Sedangkan dalam istilah ulama ahli qira’at, (qira’at ahad adalah) qira’at yang shahih sanadnya, namun ia menyelisihi rasm utsmani atau kaidah bahasa Arab, atau menyelisihi keduanya dan dia juga tidak terkenal. Sesungguhnya, qira’at Ahadiyah yaitu qira’at yang shahih sanadnya, sesuai kaidah bahasa arab dan sesuai rasm utsmani.
4.      Qira’at As-syadzah
Yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya.
Misalnya adalah: مَلَكَ يَوْمَ الدِّينِ  dengan kata kerja bentuk lampau malaka dan memfathahkan kata yaum (pada qira’at yang shahih seharusnya mengkasrahkannya).
5.      Qira’at Maudhu’
Yaitu qira’at palsu, atau tanpa asal usul.
6.      Qira’at Mudraj
Yaitu ucapan yang ditambahi dalam qira’at (yang shahih) sebagai bentuk penafsiran.
Seperti dalam qira’at Ibnu ‘Abbas r.a. :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ في مواسم الحج . فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ
Dan lafadz في مواسم الحج adalah tafsir yang disisipkan dalam ayat.

2.9 Sebab Attaubah tanpa basmalah

·         Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi tidak dicantumkannya basmalah dalam surat di atas. Pertama, dalam tradisi Arab jahiliyah dahulu, jika mereka melakukan perjanjian dengan sebuah kaum atau kabilah yang lain dan hendak memutuskan perjanjian tersebut, maka mereka mengirimkan sepucuk surat pemutusan tanpa mencantumkan kalimat basmalah. Pun demikian, ketika umat Islam memutuskan perjanjian dengan orang-orang musyrik, Nabi mengutus Sayyidina Ali untuk membacakan surat di atas (at-Taubah) di hadapan mereka tanpa diawali dengan bacaan basmalah, sesuai adat mereka.
Kedua, Ibnu Abbas bertanya kepada Utsman tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. Utsman menceritakan kronologinya, bahwa pada masa Nabi, ketika wahyu diturunkan kepadanya, Nabi memanggil salah satu sekretaris beliau untuk mendokumentasinya, dan beliau mendekte penempatan dan tata letaknya. Perlu diketahui bahwa surat al-Anfal termasuk surat yang turunnya awal, sedangkan surat at-Taubah termasuk surat yang turunnya Terakhir, kedua kisah dan penyajiannya kedua surat di atas mirip dan hampir sama. Dalam hal tersebut, Nabi tidak menjelaskan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Saya pun (Utsman bin Affan) berkesimpulan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Oleh karena itu, saya urutkan kedua surat tersebut tanpa mencantumkan basmalah.
Ketiga, pada kekhalifahan Utsman, para sahabat berselisih pendapat tentang surat at-Taubah. Sebagian sahabat menganggap bahwa antara surat at-Taubah dan al-Anfal adalah satu surat yang tidak terpisahkan. Sebagian sahabat yang lain menganggap bahwa keduanya adalah dua surat yang mandiri. Untuk mendamaikan kedua perselisihan tersebut, Utsman mengambil sikap tengah, yaitu tidak mencantumkan basmalah. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak yang berselisih dapat saling menerima. Dari pihak yang menganggap keduanya (al-Anfal dan at-Taubah) satu surat tidak keberatan, karena tidak dicantumkan basmalah. Sedangkan dari pihak yang menganggap keduanya adalah dua surat yang mandiri juga dapat menerima karena beda nama suratnya, meskipun tidak diawali dengan basmalah.
Keempat, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau bertanya kepada Sayyidina Ali tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. Sayyidina Ali menjelaskan bahwa basmalah adalah kalimat aman sementara surat at-Taubah turun sebab perang, tidak aman. Oleh karena demikian, antara aman dan perang tidak dapat disatukan. Demikian pula, dalam basmalah itu terdapat kandungan rahmat, kasih sayang, sedangkan dalam surat at-Taubah terdapat kemarahan. Oleh karena itu, antara rahmat dan kemarahan tidak bisa disatukan. Senada dengan pendapat di atas, Imam al-Sufyan mengatakan bahwa basmalah adalah ayat rahmah, rahmah memiliki arti aman. Sedangkan surat at-Taubah turun kepada orang-orang munafik dan mengandung perang, sebab itu tidak aman bagi orang-orang munafik.
Yang masyhur nya adalah, attaubah menceritakan kisah perang yang penuh amarah sehingga tidak di cantumkan basmalah di dalamnya




BAB III

PENUTUP


             Otentisitas dan Orisinalitas al Qur’an sepanjang sejarahnya tetaplah terjaga dari campur tangan manusia yang jahil. Maka, tidak perlu lagi diragukan lagi keaslian al Qur’an sebagai firman Allah Swt yang diturunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada Penutup para Nabi dan Utusan yaitu Nabi Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia, baik bangsa Arab maupun non Arab.
Bahasa Arab sebagai bahasa al Qur’an telah memainkan peran dan fungsi sebagai media untuk mempertahankan lafadh dan makna al Qur’an tetap lestari, bahwa al Qur’an lafdzan wa ma’nan min Allah Swt ‘al Qur’an lafadz dan maknanya sekaligus dari Allah Swt’. Ini disebabkan karena Bahasa Arab memiliki sifat keilmiahan yang khas yang tidak dimiliki oleh bahasa yang lain. Di antaranya adalah setiap kata memiliki akar kata (asal kata). Maka, maknanya tidak jauh dari akar kata tersebut, sebagaimana dapat dilihat dari definisi al Qur’an itu sendiri yang tidak jauh dari makna asal katanya yaitu membaca. Sehingga, al Qur’an berarti bacaan.

     
       
                   



DAFTAR PUSTAKA


Hamid Abdul.2016.Pengantar Studi Al-Quran.Jakarta: KENCANA.
Husaini.dkk.2007.Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an.Jakarta: Gema Insani.
Ridha, Muhammad Rasyid. 1990. Tafsir al-Manar. Mesir: Matba’ah Al-Mannar.
Al-Munawwar, Said, Aqil Husain. 1994.  I’jaz Al-Qur’an dan Metodelogi Tafsir. Semarang: Dimas.
Al-Kardi, Muhammad Thahir. 1944. Tarikh Al-Qur’an. Jeddah: Al-Ma’arif al-‘Ammah.

Komentar